Rabu, 11 Oktober 2017

Sindrom Anak Kedua

Dulu, waktu masih kuliah, di kelas kita kedatangan seorang dosen tamu. Mata kuliah yang diajarkan dialah psikologi mikro (kalau gak salah). Saat itu, dosen tamu tersebut menanyakan pada tiap mahasiswa dan mahasiswi tentang masalah apa yang sedang kami alami saat itu. Masing-masing dari kita menyampaikan masalah yang kita hadapi di depan teman lainnya dan para dosen. Malu? Ya jelas lah, tapi kapan lagi coba curhat didengerin sama dosen :p.
Suasana kelas tiba-tiba berubah jadi hening dan melow. Suara tangis dari beberapa teman yang curhat membuat saya berpikir bahwa dibalik sikap riangnya ternyata mereka juga menyimpan masalah yang berat. Mulai dari masalah sama keluarga, sama temen, masalah di kampus, percintaan, atau masalah apa saja boleh dicuhatin. Beliau siap jadi pendengar yang baik.

Tibalah saya yang harus menceritakan masalah saya. Hm, sebenernya sih saat itu saya rasa hidup saya lagi adem-ayem. Walau memang sejak dulu ada masalah yang mengusik saya. saya ceritakan bahwa saya sulit akur dengan keluarga saya, baikitu kakak dan adik saya ataupun kedua orangtua saya. Sejak kecil saya menghadapi sibling rivalry dengan mereka. Saya cukup menyadari kondisi saya sebagai anak tengah kadang membuat saya jadi serba salah. Berantem sama kakak, jangan tanya deh. Kita berantem udah kayak makan, sehari bisa tiga kali atau lebih. Sama adik saya juga begitu. Hal itu yang membuat kondisi persaudaarn kita jadi gak sehat. Pun sampai saya kuliah kita masih suka berantem, yang dipicu oleh masalah yang lebih kompleks.
Mendengar curhatan saya, dosen tersebut menjelaskan tentang second/middle child syndrome. Itulah pertama kali saya tau tentang konsep tersebut. Ada apa sih dengan anak kedua? Kenapa sih mereka kayak anak yang suka cari masalah? Suka bermasalah dengan orang lain dan cenderung pemberontak? Walaupun ada sebagian dari mereka yang lebih introvert.
Bertahun-tahun saya menjadi anak kedua, saya diapit oleh kakak dan adik saya. Saya merasa kalau sifat saya berbeda jauh dengan kakak dan adik saya. Saya cenderung pendiam, pemalu dan mengalah. Sedangkan kakak dan adik saya cenderung bersikap egois.
Sindrom anak tengah ini disebabkan karena kurangnya perhatian dari orangtua. Orangtua memberikan tanggung jawab kepada kakak sebagai anak tertua dan memberikan kasih sayang keda adik sebagai anak yang paling kecil. Lalu, anak kedua dapat apa? Ya gak dapet apa-apa kan. Mostly, nak-anak yang kurang perhatian akan mencari cara apapun untuk mendapatkan kembali perhatian dari orangtuanya. Cara yang mereka lakukan berbeda-beda, kebanyakan sih mereka suka mencari masalah untuk mendapatkan perhatian. Nah tapi ini yang berbeda dri saya. Saya menjadi orang yang terlalu sensitif. Merasa bahwa semua orang gak ada yang perhatian dan sayang sama saya sehingga saya lebih suka menyediri dan diam. Mengasihani hidup, itu sih yang saya lakukan. Jelas saja, sikap saya itu sangat tidak baik bagi diri saya sendiri.

Sekarang, saya mencoba memahami kondisi Ali sebagai anak kedua. Secara umum, banyak orang-orang yang berkomentar bahwa karakeristik Ali jauh berbeda dengan Umar. Saya yakin, setiap anak itu unik dan membawa sifat uniknya pada diri mereka sendiri. Ali adalah anak yang lebih mudah bergaul dengan orang lain, tetapi di sisi lain ia lebih menyukai bermain secara solitaire atau sendiri. Gak ada teman main? Gak masalah untuk Ali, dia cukup menikmati waktu-waktu bermain sendirinya. Terkait dengan sindrom anak kedua, saya merasakan bahwa Ali memiliki karakteristik dalam sindrom tersebut.

Ali itu anak yang supel tetapi ia mudah tersulut emosi, sumbu pendek. Ada sesuatu hal yang mengganggu dia pasti Ali akan menunjukkan sikap tidak senangnya saat itu juga. Berbagai ekspresi dan perilku Ali tunjukkan untuk mengungkapkan perasaan marahnya. Marah, teriak, membanting mainan, ngedumel, dan diam adalah cara yang ali gunakann untuk mengungkapkan emosi dan mencari perhatian saya. Kalau mood saya lagi bagus, saya bisa saja santai menghadapi sikap ali tersebut. Tapi sering kali mood saya ikut berantakan dan terbawa emosi menuruti sikap ali tersebut. Akhirnya saya dan ali jadi maah-marahan. dan, butuh waktu yang lama untuk membujuk ali bersikap baik kembali.

Seringkali saat Ali marah dia selalu mengatakan bahwa saya gak sayang sama dia.Bahwa saya jahat. Gak usah diambil hati kan, dia bilang begitu hanya untuk mengungkapkan perasaannya saat iyu. Bila perasaannya sudah membaik, ali berubah menjadi anak yang manis dan mengatakan bahwa dia sayang sama saya. Lucu kan. Namun masalahnya, saya sering kali gak sabaran menghadapi sikap Ali.

Pada kondisi seperti ini, syaa seharusnya mulai memahami kondisi masing-masing anak. Bukan cuma Ali yang mungkin mengalami sindrim anak tengah, tapi Umar dan Isa pun mungkin memiliki masalahnya sendiri. Kadang saya membandingkan kehidupan kecil saya dengan mereka. Saya ingin anak-anak bisa mendapatkan perhatian yang sama dari kedua orangtuanya. Juga, masih banyak perilaku diri saya yang harus saya benahi. Managemen emosi menjadi PR besar dalamm diri saya. Saya kesulitan untuk mengelola perasaan saya yang akhirnya membuat hari-hari saya seolah berantakan gak karuan gegara masalah sepele. 


Hamnah, antara Nursing Strike dan Gagal Tumbuh

Tiga bulan lalu, Hamnah tiba-tiba saja menolak untuk nenen. setiap kali saya tawarkan untuk nenen, dia selalu menjerit dan menangis. saya ...