Senin, 21 Januari 2019

Syukur

Beberapa hari lalu saya kedatengan tamu di rumah, malem-malem. sebut aja ya namanya Ibu Fulanah ini seorang perempuan, seorang ibu. Dia juga seorang istri, ehm tapi sekarang gak tau lagi tentang kejelasan status pernikahannya. Dia punya anak, anaknya tinggal sama bapaknya.
Ibu Fulanah ini punya seorang ibu, yang baru dua tahun lalu ditemukan. Lha, emang sebelumnya ke mana ibunya itu? wallahu'alam, saya juga gak tau. Ibu Fulanah ini bercerita panjang lebar tentang kehidupannya, hidupnya yang susah. Di tengah-tengah ceritanya, dia terisak, "apa saya harus tinggal di kolong jembatan aja, um? ke mana lagi saya harus berteduh bersama emak saya yang sakit?"
Saya cuma diam, bingung, respon apa yang harus saya berikan. Bukan saya bermaksud gak berempati, cuma, sepanjang dia bercerita saya ngomong dalam hati, "kok bisa-bisanya ya saya gak bersyukur banget? kehidupan apa lagi yang loe pengen? tuh liat di depan mata loe ada seorang ibu yang nangis-nangis karena gak tau lagi ke mana dia harus berteduh!"
Berasa ditampar bolak-balik ya!
_______________________________________________________________________________
Ibu fulananh ini punya seorang ibu, qodarullah kondisinya gak baik. Ibunya menderita sakit mental. Skizofrenia, waham, halusinasi, atau apalah itu. Iya, sakit kayak gitu, Ibu fulanah ini seorang diri mengurus ibunya. Dia bingung hendak ke mana. Mau bawa ibunya ke panti rehabilitasi, tapi apa daya surat-surat kelengkapan tidak mencukupi. Kartu keluarga pun tak ada, KTP hanya punya fotokopian, dan sayangnya di panti rehabilitasi hanya menerima pasien warga DKI saja sedangkan ibu fulanah ini warga daerah Bogor.
Uang? jangan tanya masalah uang lah. Kalau dia kaya raya kan gak mungkin juga dia malem-malem wara-wiri ke sana ke mari buat cari bantuan. Bantuan apapun. Walau hanya sekedar pelukan hangat yang menguatkan.
Dia bercerita, pernah satu kali ia hanya punya uang sepuluh ribu rupiah saja untuk makan selama tiga hari. Uang sepuluh ribu itu diberikan hanya untuk makan ibunya saja, dia sudah tak peduli lagi dengan perutnya. Yang penying buat emak, begitu katanya.
Bantuan yang paling ia butuhkan saat ini ialah untuk memasukkan ibunya ke panti rehabilitasi atau rumah sakit. Selain ibunya bisa mendapat perawatan medis, juga agar ibu fulanah bisa mencari kerja untuk hidupnya sehari-hari.
______________________________________________________________________________
Gak lama dia bercerita mengeluarkan isi hatinya. Sedih.
Iya, saya juga sedih. Sedih melihat diri saya yang seringkali gak bisa bersyukur, merasa pengen ini itu, gak qona'ah, dan gak pernah merasa cukup.
Saya, harusnya lebih banyak-banyak bersyukur bukan, Saya masih punya kedua orangtua yang alhamdulillah sampai saat ini masih sehat, masih bisa saya lihat wajahnya, masih bisa saya kirimi whatsapp, masih bisa saya dengar suaranya.
Saya, harusnya lebih pandai bersyukur kan. Punya atap untuk berteduh, punya lauk untuk dimakan, punya kendaraan untuk dipakai.

Lalu, kenapa masih sulit untuk bersyukur?

 gambar : http://ep.upy.ac.id


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hamnah, antara Nursing Strike dan Gagal Tumbuh

Tiga bulan lalu, Hamnah tiba-tiba saja menolak untuk nenen. setiap kali saya tawarkan untuk nenen, dia selalu menjerit dan menangis. saya ...